Sabtu, 14 Mei 2011

Ruang Rindu Untuk Lelaki Hebatku

Oleh Mukti Amini
Katakan padaku hai tukang kayu
Bagaimana caranya memotong kayu
Lihat-lihat anakku
Beginilah caranya memotong kayu


Seolah baru kemarin Bapak mengajarkan lagu pendek itu, sambil benar-benar memotong kayu di samping rumah, dan aku serius mengamati di dekatnya, sambil menghafalkan lagu baru.


Ya. Jika dibukukan, banyak sekali lagu yang diajarkan bapak kepadaku. Dari lagu dolanan dalam bahasa jawa seperti k
ucingku telu, kate dipanah… lagu anak-anak nasional seperti nenek moyangku, tukang kayu,…. lagu keroncong seperti Bandar Jakarta, Pahlawan Merdeka, hingga lagu berbagai daerah di nusantara seperti Yamko Rambe Yamko, Ayam den Lapeh.

Selain bapak sering membelikan buku berisi lagu-lagu sesuai kategori tersebut, Bapak juga kadang suka mengetikkan lagu baru yang diajarkannya di selembar hvs, dan minta aku untuk menyimpannya supaya tak lupa. Selembar hvs itu bisa berisi beberapa lagu karena diketik dalam format 2 kolom. Entah kemana catatan lagu-lagu itu, kini.


Lalu, kapan aku terakhir bertemu Bapak?
Sebulan lalu, Alhamdulillah, saat aku kebetulan mendapatkan tugas kantor ke Jogjakarta. Tentu ini kesempatan yang tak kusia-siakan untuk mudik sebentar ke Purworejo, menengok beliau barang sebentar.

Tapi ternyata, benar-benar sebentar. Karena waktu itu aku sampai di Purworejo sudah malam, hingga tak lama kemudian bapak masuk kamarnya. Pagi harinya, aku sudah siap2 berangkat ke rumah sakit, karena ibu mertua akan operasi pengangkatan rahim dan aku perlu menemani beliau, menginap di rumah sakit. Aku balik lagi ke rumah itu saat menjelang keberangkatan ke Jakarta saja, siap-siap berkemas.

Mungkin karena
saking sebentar, bapak sampai tak ingat betul akan kedatanganku. Kata mas yang di Bandung, waktu sepekan kemudian menelpon Bapak dan menanyakan apakah aku jadi pulang pekan lalu, bapak menjawab, ”Eee, iya apa gak ya? Iya kali ya. Gak begitu ingat...”
Dan... ternyata, itu pertemuanku terakhir dengannya. Hiks...

Ini persis sama dengan nasib pertemuan terakhirku dengan ibu, dulu. Sebulan sebelum beliau berpulang, tahun 2006, aku berkesempatan mengisi seminar pendidikan yang diadakan Dinas Diknas kotaku. Karena waktu yang mepet, aku datang malam hari, dan pagi-pagi sudah dijemput panitia seminar.
sai mengisi seminar pun tak sempat lagi mampir ke rumah, langsung diantar panitia ke Jogja, mengejar pesawat terakhir. Ibu sampai merasa seperti mimpi saja bertemu denganku, seperti yang beliau tanyakan pada adikku, ”Kemaren itu Mining datang beneran apa gak ya? Kayaknya sih datang, tapi cuma sebentar banget”
Hiks.. siapa menyangka itu akan jadi pertemuan terakhir denganmu, bu...

Entah kenapa, bapak ibu berpulang dengan cara yang hampir sama.

Ibu, meski sempat dirawat di rumah sakit, tapi hanya 2-3 hari saja, lalu berpulang.
Bapak, apalagi! Lebih mendadak. Sabtu subuh, 24 April ini, begitu ketahuan muntah dan tak sadarkan diri, langsung dilarikan ke UGD RSUD.
Indikasi awalnya stroke ringan, karena jari kakinya masih mampu bergerak-gerak. Sejak itu kami bersaudara terus saling mengabarkan. Juga mulai merancang jadwal siapa yang perlu pulang duluan, karena terbayang jika stroke maka pemulihannya membutuhkan waktu yang relatif lama, jadi ada baiknya pulang bergiliran.
Hmm, anak bapak memang 6, tetapi yang semandhing (menemani) hanya 1, masku dan keluarganya. Anak yang 5 di luar kota semua, mayoritas di Jakarta.

Menit demi menit berlalu dalam gemuruh jantung kami anak-anaknya, karena beritanya semakin mengkhawatirkan. Jam 8.30, ada sms dari mas, bapak terkena stroke berat, hipertensi, sudah ada pendarahan di otak, dan akan segera dilakukan CT scan. Masya Allah... Kok tiba-tiba jadi begini?
Padahal, 3 hari sebelumnya bapak diajak ke dokter karena masuk angin, dan tensinya cukup bagus untuk orang seusianya, 150. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba hipertensi, dan pendarahan di otak?

Tapi, Sabtu pagi itu, aku mencoba berkegiatan seperti biasa, sesuai skedul, meskipun pikiran jelas tak bisa berkonsentrasi penuh. Tiap saat sms dan dering telpon masuk, saling mengabarkan.
Aku tetap datang menghadiri rapat rutin di organisasi, pagi itu. Lalu, saat pembicaaran rapat akan dimulai, jam 9.45 itu, tiba-tiba hape ku berdering lagi, suara mas ku di kampung, tersendat mengatakan, ”Bapak wes seda....” (bapak sudah meninggal- red)
Pecahlah tangisku. Tak kudengar lagi suara mas di telpon. Lemas seluruh persendian.

Haruskah berakhir begini? Hanya jeda 3 jam dari kabar pertama usai subuh tadi, lalu diambil-Nya bapakku?

Bapak yang selama ini sehat-sehat saja, paling hanya batuk pilek dan masuk angin biasa?

Aku tergugu. Ingat kejadian yang sama tragisnya dengan putri kecilku yang meninggal. Ah, itu belum lama, bahkan belum genap 6 bulan lalu. Sama mendadaknya, tanpa didahului sakit, sama membuat kami orang-orang yang menyayanginya seperti dihunjam palu godam. Tak siap, tak menyangka.


Allahu, ini kehendakmu. Dan begitulah keinginan bapak dan ibu, dari dulu. Karena sering bapak ibu berkata,
"Semoga nanti kalau saatnya diambil, jika boleh meminta, jangan ngerepotin anak2 lah. Gak usah sakit lama2"
Ternyata doa itu terkabul pak, bu.
Subhanallah, betapa besar kasih sayangmu, hingga menjelang ajal pun masih memikirkan anak-anak.

Lalu kusadari, itulah rahasia-Nya, skenario-Nya. Betapa jika Dia berkenan, sebenarnya sudah 2 kali nyawa bapak hampir melayang.


Pertama
, waktu peristiwa terowongan Mina, tahun 1990, saat Bapak melaksanakan ibadah haji, sebagai TPHI. Kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ribuan jamaah haji Indonesia yang terinjak-injak sia-sia, namun bapak Alhamdulillah diselamatkan-Nya, karena hari itu bapak justru sedang tidak enak badan sehingga memilih beristirahat di tenda saja, tidak melontar jumroh.

Kedua
, tahun 1992, saat Bapak mengalami kecelakaan parah, beliau bersama motornya terseret 10 meter oleh mobil ngebut yang menabraknya. Bapak mengalami CKB (cedera kepala berat), dan koma hampir seminggu.
Waktu aku menjenguknya di RS Sardjito Jogja, 2 hari setelah kecelakaan naas itu, rasanya seperti mau pingsan, karena bau anyir darah masih memenuhi ruangan. Dokter syaraf yang menangani bapak sudah mengatakan: ”Jika darah dari telinga bapak tak bisa dihentikan untuk 24 jam kemudian, tak kan ada lagi harapan,”

Masya Allah... padahal keluarga sudah ngotot langsung buru-buru memindahkan Bapak dari RSUD Purworejo ke RS Sardjito Jogja sejak sore kecelakaan itu terjadi, demi berharap perawatan yang lebih intensif dengan peralatan yang lebih canggih.
Saking seriusnya gegar otak yang dialami Bapak, sampai luka patah tulang di kaki kanannya untuk sementara diabaikan.
Ah, haruskah berakhir sia-sia?

Namun, Alhamdulillah, Bapak berangsur membaik. Setelah urusan operasi kepala beres, baru penanganan untuk kakinya yang patah, pemasangan pen. Butuh sekitar 2,5 bulan menjalani opname di RS Sardjito waktu itu, sebelum bapak benar-benar dinyatakan sembuh, tinggal meneruskan fisioterapi, latihan berjalan di RSUD Purworejo.

Sejak itu bapak invalid. Ya fisiknya, ya ingatannya. Sulit untuk mengajak bicara Bapak dan mengembalikan memorinya. Harus ekstra sabar jika berbicara dengan bapak.

Ibarat saringan, maka saringan nyawa bapak halus sekali, 2 kali hampir meregang nyawa, tetapi lolos juga. Dan kini, tanpa ada kejadian apa-apa, Allah berkenan memanggilnya. Tanpa sakit yang berarti.

Ya Rabb, kuterima takdir ini.

Sabtu kemarin, begitu mendengar kabar bapak telah tiada, sejenak aku dan suami bingung, mau naik apa? Mobil, artinya paling cepat 10 jam lagi baru sampai. Apakah masih bisa menyetir sendiri dalam kondisi kalut begini? Pesawat, apakah ada kursi tersisa untuk 1-2 jam ke depan, karena ini libur
long week end?
Namun, Alhamdulilllah, masih kebagian tiket garuda untuk kami berempat (aku, suami dan 2 kakakku).

Mas di kampung berkata bahwa pemakaman akan dilakukan sore itu juga. Itu artinya kami harus segera sampai di lokasi jika masih ingin melihat jasad bapak terakhir kalinya. Padahal, dari bandara Jogja ke Purworejo masih harus menempuh perjalanan darat lagi kurang lebih 1,5 jam. Duuh, terkejar kah? Meski aku juga sadar, tak usah menunggu kedatangan semua anak, jika saatnya dikuburkan, itu lebih utama. Tapi, tetap saja, di hati kecil, juga masih ingin melihat jasad Bapak, meskipun tak mampu lagi diajak bicara....


Semua serba terburu-buru. Kami berempat janjian untuk ketemu di bandara saja supaya praktis. Bahkan mbakku pun masih memakai kostum kondangan yang cukup wah, tanpa membawa baju sehelaipun, tak sempat ganti lagi. Rasanya pikiran menjadi buntu. Yang penting cepat sampai ke kampung, cuma itu saja yang terpikirkan.


Alhamdulillah, kurasakan pula indahnya ukhuwah saat puncak kepanikan itu. Tiba-tiba saja banyak tawaran untuk menjemput kami dari bandara Jogja ke Purworejo. Pertama, tawaran dari adik ipar yang di Jogja, tapi kami batalkan karena mobilnya tipe kecil.
Juga dari kakak kelas SMA, Mas Arso, yang ingin menjemput kami dari Purworejo dengan innova-nya. Semula kami menolak, merasa bisa langsung pesan taksi saja sesampai di bandara. Tapi Mas Arso terus memaksa, ya sudahlah. Alhamdulillah, dia lihai ngebut dan menyelip-nyelip di lalu lintas Jogja yang macet karena libur panjang (terima kasih banyak ya mas...).

Tawaran masih datang lagi dari teman-teman kantor suami yang kebetulan sedang di Jogja, untuk mengantar kami pulang ke Purworejo. Entah bagaimana berita duka ini cepat sekali menyebar, sehingga tawaran bertubi-tubi datang.
Sepanjang jalan, telpon kami berempat terus berdering-dering, menanyakan apakah benar bapak sudah berpulang. Bahkan, beberapa saudara dan adik bapak yang usai subuh sempat ku-sms kalau bapak dibawa ke RS karena stroke, masih sempat telpon dengan nada biasa, menanyakan kondisi bapak terakhir. Baru saat dikabarkan bapak sudah tiada, jadi semua ikut histeris, menangis..
Hiks.. aku sendiri masih terasa seperti mimpi, karena begitu cepat.....

Lalu, setelah semua urusan kewajiban pada jenazah dibereskan, saatnya aku kembali ke Jakarta. Meski sebenarnya masih ingin berlama-lama di rumah bersahaja ini, tapi tak tega meninggalkan anak-anak terlalu lama. Ya, anak-aanak tidak diajak serta karena kami berpacu dengan waktu, kemarin.


Senin sore, 25 april, aku dan suami bersiap pergi ke Jakarta, meninggalkan seluruh kenangan indah tentang bapak. Ah, ada yg terasa berbeda saat kutinggalkan rumah bersahaja itu. Biasanya, bapak sudah siap menunggu di teras depan, & aku 'salim' mencium tangannya sambil pamit,
"Kula bidhal nggih, paaak." (saya berangkat ya paak-red)
Tapi kini, tidak lagi. Takkan pernah lagi...

kucingku telu, kabeh lemu-lemu
sing siji abang lan sing loro klawu
tak pakani lontong kabeh meang meong
aku seneng ndhelok aku nganti ndomblong


Serasa masih terngiang-ngiang suara bapak mengajarkan lagu dolanan bocah yang lucu itu, sambil memangkuku saat balita, dan aku terbata-bata mengikuti kata demi kata....

Apa makna semua ini?
saat kehilangan terasa bertubi
belum genap separuh warsa
kucoba berdamai dengan diri
kala melati kecilku memilih lelap bersamaNya
mendadak, tanpa tanda yang mampu kucerna
menghentak jantung meruntuhkan logika

Kini
lelaki hebatku
memilih menyusulmu
pun mendadak, sepertimu
meski sekian tahun berselang
dua kali nyawanya hampir melayang


Allahu
tak ingin aku tergugu pilu
karena kutahu
ini bagian dari skenarioMu


Namun ijnkanlah ya Rabb
sesekali kutulis dan kukabarkan
tentang rasa rindu yang menjulang
pada mereka yang kusayang
Ibu, bapak, dan gadis kecilku

Sungguh
bukan untuk menyesali
tentang apa yang telah terjadi
tapi hanya rindu
yang semoga memacu
amal ibadahku
hingga satu saat nanti
mampu kulampiaskan rinduku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar