Sabtu, 14 Mei 2011

Siapa Yang Berhak Cemburu?

Oleh Ahmad Syukri
Mendung menerpa kaum Anshar. Penduduk muslim kota Yatsrib (sekarang Madinah) yang rela melapangkan rumah, tanah dan diri mereka menolong Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya setelah mereka terusir dari bumi Mekkah disebabkan orang-orang kafir Quraisy yang dengan kejam mencerca dan menyiksa mereka.
Kaum yang berjasa besar bagi kelangsungan dakwah Nabi Muhammad SAW. Kumpulan orang-orang mulia yang diabadikan sebutan mereka dalam kitab suci umat ini.
Setelah bertahun-tahun bersama-sama Rasulullah SAW dalam suka dan duka. Setelah peperangan demi peperangan mereka arungi sebagai wujud kesetiaan mereka terhadap Rasulullah SAW. Setelah jiwa dan hati mereka serahkan sepenuhnya untuk Allah dan Rasul-Nya.
Namun tak dinyana, hari itu seolah langit bergemuruh hebat dengan suara-suara parau yang beredar di kalangan kaum Anshar. Saat kejayaan Islam telah menggetarkan pilar-pilar kekaisaran Romawi yang berdiri kokoh waktu itu.
Saat sebagian besar daerah di jazirah-jazirah arab bahkan Makkah sudah tunduk di bawah kekuasaan Islam. Sekembalinya dari perang Hunain dan Thaif, Rasulullah SAW dan para sahabatnya pulang dengan harta rampasan perang yang melimpah ruah.
Tapi setelah pembagian harta rampasan selesai dibagi-bagikan, ada satu hal yang mengganjal di hati orang-orang Anshar. Para pembesar-pembesar Quraisy yang baru saja masuk Islam ketika penaklukan kota Makkah mendapat harta rampasan lebih banyak dari pada kaum Anshar bahkan dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan mereka tidak mendapat bagian sama sekali.
Rasa cemburu yang dalam menyelubungi relung-relung hati kaum Anshar. Bahkan (kabarnya) sampai-sampai ada yang mengatakan, “Demi Allah, kini Rasulullah telah berjumpa kembali dengan kaumnya sendiri (orang-orang Mekkah).”
Setelah mendengar omongan miring yang beredar di kalangan Anshar, Rasulullah SAW segera meminta Sa’ad bin Ubadah mengumpulkan kaumnya di suatu tempat. Setelah kaum Anshar berkumpul, Rasul SAW yang mulia itu pun datang. Berdiri tegak di hadapan mereka. Memandang wajah-wajah teduh para sahabatnya.
Setelah memuji Allah, beliau SAW pun berkata kepada seluruh kaum Anshar. Ucapan yang muncul dari hati dan jiwanya. Kalimat-kalimat yang menggetarkan tubuh orang-orang Anshar. Membuat siapa pun yang mendengar ucapan beliau SAW meneteskan air mata.
Rasulullah SAW berkata, “Wahai kaum Anshar, ucapan miring dan keberatan kalian terhadapku sudah sampai kepadaku. Bukankah dahulu aku datang kepada kalian saat kalian berada dalam kesesatan, lalu Allah memberi kalian petunjuk? Dahulu pun kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mencukupkan (karunia-Nya) kepada kalian? Kalian pun dulunya saling bermusuhan, lalu Allah menyatukan hati kalian?
Orang-orang Anshar pun menjawab, “Benar, hanya Allah dan Rasul-Nyalah yang paling berjasa dan lebih utama.”
Namun Rasulullah bertanya, “Kenapa kalian tidak membalas ucapanku wahai orang-orang Anshar!?”
Mereka mulai terheran-heran, mereka tidak mengerti maksud dari pertanyaan Rasulullah SAW yang seolah menantang mereka membalas ucapannya. Mereka hanya menjawab, “Dengan apa kami harus membalas (ucapanmu) wahai Rasulullah!?”
Rasulullah SAW pun berkata, “Demi Allah! Jika kalian mau, kalian pasti mengatakannya (dan membalasnya), dan apa yang kalian katakan adalah benar, dan pasti kalian juga akan dibenarkan.” (Kalian bisa saja membalasnya dengan mengatakan) “Engkau telah datang kepada kami sebagai seorang yang didustakan, lalu kami yang menolongmu (wahai Rasulullah). Engkau datang kepada kami sebagai seorang yang terusir lalu kami menampungku. Dan Engkau pun juga datang kepada kami sebagai seorang yang miskin lalu kami menanggung semua bebanmu.”
Isak tangis mulai membahana. Air mata mengucur deras membasahi wajah dan janggut-janggut kaum Anshar. Mereka bungkam diam seribu bahasa, tak pernah menyangka Rasulullah SAW akan berkata seperti itu.
Rasulullah SAW berkata lagi, “Wahai kaum Anshar! Apakah kalian mendapatkan di dalam diri kalian (hasrat terhadap) secuil harta dunia yang telah melunakkan hati suatu kaum agar mereka masuk Islam, sedangkan kalian (sudah sejak lama) telah menyerahkan diri kepada Islam. Wahai kaum Anshar! Tidakkah kalian rela jika orang-orang pulang dengan membawa domba-domba dan onta-onta sedangkan kalian pulang dengan membawa Rasulullah ke rumah kalian?
Demi (Tuhan) yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya! Andai saja bukan karena hijrah niscaya aku adalah seorang Anshar. Andaikata orang-orang memilih jalan di antara celah-celah bukit, sedangkan orang-orang Anshar memilih jalan yang lain, niscaya aku pasti memilih jalan yang ditempuh oleh orang-orang Anshar. Ya Allah, kasihilah orang-orang Anshar, anak-anak serta cucu-cucu mereka.”
Kaum Anshar tak kuasa menahan tangis. Mereka sesengukan mendengar ucapan demi ucapan yang keluar dari lidah Rasulullah SAW. Mereka menangis bukan hanya menyesali perbuatan mereka, mereka juga menangis bahagia. Ternyata Rasulullah SAW mencintai mereka melebihi apa yang mereka bayangkan.
Benarlah Rasulullah SAW yang mengatakan sebaik-baik kehidupan adalah periode ketika beliau diutus, kemudian periode setelahnya, kemudian abad setelahnya. (HR. Bukhari)
Seringkali kita disuguhkan kisah-kisah kegemilangan para sahabat. Seolah kita sedang dibawa masuk ke dalam dunia lain. Tak bisa menolak rasa cemburu di hati, ingin rasanya menjadi bagian dari mereka, hidup di zaman mereka, berjuang bersama-sama mereka.
Rasa cemburu seperti ini pula pernah dirasakan seorang tabi’in sehingga dia mengatakan kepada Miqdad bin ‘Amr RA salah seorang sahabat Nabi SAW, “Alangkah beruntungnya kedua mata(mu) itu, yang telah melihat Rasulullah SAW.
Demi Allah! Ingin sekali rasanya kami melihat apa yang telah engkau lihat, dan kami menyaksikan apa yang sudah engkau saksikan dulu”. Lalu Miqdad bin ‘Amr mengatakan, “Apa yang menyebabkan salah seorang dari kalian berandai-andai melihat dan menyaksikan sesuatu yang Allah tidak izinkan? Bukankan kalian tidak pernah tahu bagaimana keadaan kalian andai saja kalian melihatnya? Demi Allah! Sesungguhnya banyak orang-orang yang hidup semasa dengan Rasulullah, namun Allah menyeret hidung-hidung mereka ke dalam Neraka Jahannam? Bukankah sebaiknya kalian memuji Allah karena Dia telah menjauhkan kalian dari bala yang menimpa mereka dan Dia pula yang mengeluarkan kalian (dari perut ibu-ibu kalian) dalam keadaan beriman kepada-Nya dan Rasulnya?” (Rijal Haula ar-Rasul, Khalid Muhammad Khalid)
Memang sebaiknya kita berhenti mencela zaman, karena yang mesti dicela adalah diri kita yang masih saja tertipu dengan kehidupan dunia. Allah tidak akan merubah suatu kaum, sampai kaum itu merubah diri mereka sendiri. Allah tidak akan merubah keterbelakangan umat Islam saat ini jika kita masih saja sibuk mencela musuh-musuh kita, memburuk-burukkan akhlak orang lain, namun kita lupa memperbaiki diri sendiri.
Bukankah Rasulullah SAW dalam hadits riwayat imam Ahmad mengatakan, “Beruntunglah bagi orang-orang yang melihatku sedang mereka beriman kepadaku, dan keberuntungan pula bagi orang-orang yang tidak melihatku namun mereka (juga) beriman kepadaku”. Sepintas tidak ada yang diistimewakan dari perkataan beliau.
Tapi kenyataannya Rasulullah SAW mengulang-ulang ucapan keberuntungan bagi orang-orang yang tidak melihatnya sebanyak tujuh kali. Maka beruntunglah kita. Beruntunglah. Beruntunglah jika kita benar-benar beriman dengan risalah yang dibawa oleh nabi SAW yang mulia itu.
Siapapun berhak untuk cemburu.
Jika cemburu itu menimbulkan semangat untuk meningkatkan ketakwaan dan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat maka biarkanlah rasa cemburu itu tertanam kuat dalam hati.
Firman Allah SWT dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 100:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Ya Allah! Kami semua ridha maka ridhailah!
Cairo, 7 Mei 2011
ahdsyukri_isfaq@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar